BANGSA BERKARAKTER


Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa maraknya fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.

Hal ini sebenarnya telah menjadi kekhawatiran para tokoh dunia. Ki Hajar Dewantara menyampaikan bahwa dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa, bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia. Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Theodore Roosevelt menyampaikan hal senada : “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)

Menelaah tentang karakter, dimana karakter seorang individu terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh genetik dan lingkungan sekitar. Proses pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Pendidikan karakter pada sekolah formal bertujuan untuk memperkuat akhlak dan sifat terpuji bagi peserta didik. Kepandaian di bidang pendidikan saja belum cukup tanpa bekal moral dan karakter yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak melakukan penyalahgunaan ilmu yang di pelajari selama sekolah saat mereka terjun di masyarakat.’
Pendidikan karakter diharapkan dapat menguatkan kepribadian seseorang, sehingga mereka tidak hanya pandai dan cakap dalam berpikir, bertindak, mengambil keputusan. Namun lebih jauh, seseorang tersebut haruslah beretika, senantiasa menjaga moral dan bertanggunjawab atas keputusan yang dipilih berdasarkan hati nurani.

Pendidikan karakter menjadi dasar dalam pembentukan karakter  dan kualitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial seperti kejujuran, toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan menghormati sebagaimana tertuang dalam butir-butir Pancasila. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Dr. M. Ghazali Bagus Ani Putra, psi menyampaikan bahwa indikator manusia yang berkarakter moral adalah :
(1)   Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
(2)   Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
(3)   Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.

Demikianlah, selayaknya kita menyadari bahwa masing-masing diri kita selayaknya mengambil peran sebagai pendidik baik bagi anak-anak kita di rumah maupun di forum/lembaga formal lainnya. Tidak lagi hanya sebagai seorang pengajar yang sekedar melakukan transfer of knowledge, melainkan menanamkan etika dan moral dalam rangka membangun bangsa yang berkarakter.
Pendidikan karakter adalah kunci untuk perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas, nilai dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter adalah tercapainya keseimbangan antara pengetahuan dan moral. Salah satu pendekatan dalam pendidikan berkarakter ialah dengan pendidikan moral agama yang diterapkan dalam setiap kehidupan akademis. Jika pengetahuan dan moral agama dapat diintegrasikan maka berkembanglah kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas (excellent with morality). “Ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar